Kamis, 31 Desember 2015

Pria Sulit Terima Wanita dengan Penghasilan Lebih Tinggi

Umumnya wanita pasti merasa bangga dan bersyukur saat suami mereka mendapatkan promosi karier dan sukses di kantor. Namun, apakah hal yang sama juga dirasakan oleh pria saat sang istri berhasil menduduki jabatan idaman di perusahaan tempatnya bekerja?


Menurut studi dari American Psychological Association, mengaku atau tidak, banyak pria yang merasa harga dirinya terusik saat melihat kesuksesan istri. Selain itu, prestasi membanggakan istri bisa menjadi pangkal dan konflik yang mendasari pertengkaran dalam rumahtangga. Sebab, harga diri suami yang seolah terinjak bisa memengaruhi kehangatan serta romantisme pernikahan.

Kondisi yang demikian, bisa jadi disebabkan karena pada dasarnya pria merupakan makhluk yang kompetitif. Alhasil, saat istri berada di posisi lebih unggul, suami bakal merasa rendah diri dan kurang berdaya sebagai seorang pria.  

“Sudah menjadi rahasia umum bahwa pria akan merasa terancam pada keberhasilan istri mereka. Ini bukan hanya terjadi pada hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan penghasilan, tapi juga terhadap hal sepele, seperti program penurunan berat badan dan sebagainya. Tanpa mereka sadari, suami yang memiliki istri lebih sukses dalam bidang pekerjaannya, sering menyimpan rasa gagal dan kecewa pada diri sendiri dalam hati,” terang Kate Ratliff, PhD, California University.

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Belanda ini, seperti sekali lagi membuktikan bahwa masih banyak pria di dunia yang hidup dengan nilai maskulinitas tradisional yang tinggi. Perlu Anda ketahui, jenis pria yang demikian memiliki prinsip hidup bahwa posisi mereka harus lebih tinggi dibandingkan wanita, entah dari sisi pekerjaan, penghasilan, atau penampilan. Menyedihkan? Tentu saja!

Namun, kenyataan ini tidak selamanya merugikan. Sebab, menurut penelitian, jumlah wanita yang menganut prinsip bahwa suami harus memiliki penghasilan dan jabatan yang lebih dari istri, juga terbilang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh nilai budaya dan gaya asuh orangtua sepanjang masa tumbuh kembang mereka dahulu.

1. Bila Jabatan Istri Lebih Tinggi
Kebebasan mengaktualisasikan diri dan persamaan hak dengan kaum pria membuka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah. Namun bagi sebagian pria, ternyata sulit menerima karier istri yang kemudian lebih melesat dibanding kariernya. "Ketika memberi izin bekerja, suami membolehkan. Namun seyogianya mereka punya bayangan bahwa orang bekerja kariernya bisa maju. Kadang-kadang di sinilah dilemanya. Memberi izin, tapi kemudian merasa ‘terancam’ bila istri maju," papar Ita D. Masli, Psi., dari Iradat Consultant.

Ita tidak mengatakan bahwa para suami tersebut plinplan karena sifat ini lebih banyak terkait dengan faktor budaya. "Dalam masyarakat kita telanjur dibangun persepsi bahwa wanita kedudukannya lebih rendah daripada pria. Pola asuh seperti inilah yang ditanamkan dari orangtua. Pria disiapkan untuk mencari nafkah sedangkan wanita tidak. Jadi, meskipun sekarang sudah sangat terbuka kesempatan bagi wanita, persepsi ini tetap tak bisa hilang. Pria tetap di atas dalam hal apa pun, sementara wanita menempati posisi di bawahnya. Padahal faktanya wanita bisa juga lebih maju." Menurutnya, fenomena ini juga tetap terjadi di negara-negara Barat yang notabene pendukung kesetaraan wanita.

Kenyataan budaya yang masih melekat inilah yang kemudian sering kali menyebabkan konflik dalam rumah tangga ketika istri kariernya melejit yang otomatis diimbangi dengan penghasilan lebih tinggi. Penyebabnya, dalam banyak kasus, hal ini dianggap sebagai "ancaman" bagi ego suami. Suami yang merasa minder lantas menunjukkan gelagat kurang suka. Akibatnya, istri pun yang justru berharap kompetensinya diapresiasi oleh orang terdekatnya, malah menghadapi ketidaknyamanan selagi bersama suaminya.

2. MENGUBAH POLA PIKIR
Sebagai psikolog yang banyak menangani pasangan, Ita tidak menampik bahwa salah satu konflik dalam perkawinan adalah perbedaan jabatan dan penghasilan. "Kalau sang suami gajinya lebih besar atau pangkatnya lebih tinggi, umumnya adem ayem karena dianggap norma yang wajar. Tapi kalau istri lebih besar dari segi penghasilan dan karier, mulailah timbul konflik.

Sekali lagi bahwa memang konsep egaliter baru sebatas wacana. Belum banyak suami yang mampu menerima ini sebagai ‘berkah’, tapi malah ancaman’," ujar Ita menyesalkan.

Menghadapi hal ini, kata Ita, mau tidak mau suami istri harus mengubah paradigma. Kelebihan istri jangan dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai kekuatan yang bisa menambah kebahagiaan keluarga. "Lagi pula bila sudah diantisipasi dari awal, kecil kemungkinan untuk memunculkan konflik," lanjutnya.

Seharusnya perbedaan penghasilan ini bisa diantisipasi jauh sebelum pernikahan. "Kalau seorang pria tahu calon istrinya adalah seorang terdidik yang bekerja dan calon suami tahu bahwa calon istrinya tetap akan bekerja setelah menikah, maka mestinya sama-sama tahu karier masing-masing bisa saja melesat dengan cepat. Kalau ternyata karier istrinya yang lebih melesat, ya itulah konsekuensinya. Tapi kalau sejak awal bisa diantisipasi dan bisa dikomunikasikan, satu persepsi sudah terbentuk untuk bisa saling menerima sehingga mengurangi potensi konflik," papar Ita.

3. SAMAKAN LANGKAH
Sayangnya, tukas Ita, banyak pasangan yang tidak punya persiapan psikologis sejauh itu, sehingga ketika terjadi, masing-masing pihak merasa terancam. Sang istri merasa terancam kariernya terhenti, sementara sang suami merasa posisi dan harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga bakal terancam. Nah, agar sama-sama merasa tak terancam, Ita menyarankan masing-masing pihak harus berani introspeksi dan bersedia saling berkomunikasi. Contohnya, pihak istri tak selalu berarti harus mengalah, melainkan mungkin perlu sedikit "langkah mundur".

Kalau suami menyindir istri mulai kekurangan waktu untuknya dan anak-anak, barangkali memang istri harus agak menahan diri. Begitu pun suami. Kalau "kecemburuan"nya mulai memuncak, jangan gengsi untuk berpikir lebih dalam apakah kecemburuannya beralasan. Padahal mungkin karier istri yang melejit bisa memberi berkah bagi keluarga. Bukankah penghasilannya yang besar bisa semakin menyejahterakan keluarga, terutama anak-anak?

Prinsipnya, sebelum satu sama lain melangkah lebih jauh dan berbeda arah, Ita menganjurkan agar menyamakan langkah dulu sehingga bisa melihat mana yang perlu disejajarkan. "Coba dibicarakan, apakah karier istri yang sukses ini berdampak untuk kebaikan bersama. Kalaupun suami merasa keberatan, keberatannya di mana, sehingga bisa didiskusikan. Sering kali suami merasa terancam karena istri seolah sibuk di kantor dan berkurang waktunya untuk menjadi pendengar suami. Padahal suami kadang cuma butuh didengarkan karena dari situlah dia merasa dihargai dan di satu sisi dia merasa tetap kepala keluarga."

Jadi sebenarnya, bisa saja kontribusi si istri yang bisa memicu konflik. Kalau saja ada kesediaan mendengar, kita bisa memahami kenapa suami keberatan. "Dari situ, kita bisa mengapresiasi keberatan itu dengan perubahan tindakan. Misalnya tetap mendengarkan suami dan memperlakukannya sebagai kepala keluarga sehingga respek kedua belah pihak tetap terjaga."

Suami juga harus menyadari bahwa istri punya hak aktualisasi. Pilihannya bukan hanya di rumah sebagai istri dan ibu, tapi juga mengamalkan ilmu yang didapatnya dengan bekerja di luar. "Semua ini perlu dikemukakan dan didiskusikan bersama, bahkan jauh-jauh hari sebelum menikah, supaya tidak ada pemahaman yang keliru," tutup Ita. Santi Hartono. Ilustrasi Pugoeh

TIPS BUAT SUAMI
- Agar hati tak panas dan mudah cemburu, jangan lihat kelebihan istri sebagai ancaman. Melainkan lihatlah sebagai kekuatan bagi pribadinya sekaligus berkah bagi keluarga sehingga suami seyogianya mendukung.

- Tekankah pada diri sendiri bahwa peran suami tetaplah tersangga di bahu. Jangan lantas merasa keenakan punya istri dengan penghasilan besar, sehingga beban tanggung jawab malah berpindah ke istri. Anggaplah istri sebagai mitra sehingga penghasilan istri yang lebih besar dapat digunakan untuk hal-hal yang darurat sifatnya atau untuk menambah fasilitas pendidikan bagi anak-anak.

- Tempatkan diri Anda sebagai pihak yang tetap pantas dihormati justru dengan selalu memberi dukungan dan kesediaan mendengar masalah-masalah yang dihadapi istri. Kalau Anda bisa memberi solusi, istri pasti akan merasa bangga dan senang.




TIPS BUAT ISTRI
- Ingatlah pepatah behind the success woman, there is a great man. Bahwa di belakang wanita yang sukses, selalu ada pria yang luar biasa. Dengan mengingat hal ini, Anda tak akan bertindak sombong dan mengatakan bahwa karier yang melejit adalah jerih payah Anda sendiri. Tanpa dukungan suami, tak mungkin Anda dapat mengembangkan diri seluas ini.

- Seperti halnya suami yang harus menyadari peran dan tanggung jawabnya, begitu pula istri. Jika diberi kebebasan, tetaplah berpegang pada peran ini. Dengan kata lain, "jubah" profesi harus dilepas saat Anda menjalani kehidupan personal. Contohnya, kalau di kantor suka main perintah karena Anda adalah atasan, tentu di rumah hal ini tak bisa Anda lakukan pada suami dan anak-anak. Malah sering kali Anda justru harus meladeni mereka. Jabatan manajer atau direktur memang prestisius, tapi menjadi istri dan ibu pun tak kalah bergengsi dan mulia.

Berpenghasilan lebih sedikit dari istri bikin pria gampang sakit
Di zaman modern ini tentu bukan hal yang aneh jika wanita juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Faktanya, istri yang bekerja tentu bisa membantu keadaan ekonomi keluarga menjadi lebih baik. Namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa istri yang berpenghasilan lebih banyak bisa memberikan efek buruk pada kesehatan suami mereka.
Penelitian yang dilakukan di Washington University di St Louis Olin Business School menemukan bahwa suami yang memiliki istri dengan penghasilan lebih tinggi cenderung lebih berisiko terkena beberapa penyakit seperti disfungsi ereksi, insomnia, dan kecemasan. Sementara penelitian lain menunjukkan bahwa pria yang memiliki penghasilan lebih rendah dari istri mereka lebih mungkin berselingkuh.
"Terdapat beberapa norma sosial yang dianggap kuat oleh pria bahwa mereka harus bisa mengayomi istri mereka. Ketika norma ini dilanggar atau tidak dipenuhi, maka ini akan membuat mereka kehilangan kepercayaan diri sebagai pria," ungkap lamar Pierce, profesor dari Olin, seperti dilansir oleh NBC News (28/05).
Hasil ini ditemukan oleh peneliti di Washington yang mengamati lebih dari 200.000 pasangan menikah di Denmark pada tahun 1997 - 2006. Pierce menjelaskan bahwa mungkin banyak pria yang merasa tak masalah dengan keadaan ini, ketika penghasilan mereka lebih rendah dari istri. Namun dibalik sikap menerima itu, pria juga sulit mengakui bahwa istri mereka yang menjadi penunjang ekonomi dan kehidupan mereka setiap hari.
Bagaimana dengan Anda, para pria? Setuju dengan hasil penelitian di atas? Apakah penghasilan yang lebih rendah dari istri juga membuat Anda lebih mudah mengalami kecemasan dan insomnia?

1 komentar:

  1. B O L A V I T A Bandar Resmi Taruhan Online Indonesia
    Kunjungi Website Kami www.bolavita.vip Sekarang Juga.

    Menyediakan Banyak Permainan Online Yang Sangat Disukai Dikalangan Player Di Indonesia. Diantaranya :
    - Sabung Ayam
    - Casino
    - Bolatangkas
    - Taruhan Bola / Sportsbook
    - Poker, Kiu-Kiu, Ceme
    - Tembak ikan
    - Slot Game
    - Togel online SGP / HK / KL

    Klik ==> ANGKA MAIN HARI INI

    Info Lebih Lanjut Hubungi Kontak CS Kami (Online 24jam)
    WA: 0812-2222-995
    BBM: BOLAVITA
    WeChat: BOLAVITA
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus